PELANGI DI PUNGGUNG KOTA ANGIN
Titik Awal
dari Sebuah Perjuangan
Di sebuah desa kecil bernama Tritik , Kecamatan Rejoso, Kabupaten Kota Angin, yang dikenal sebagai Anjuk Ladang, hiduplah seorang pemuda bernama Darwis Berbeda dengan anak-anak sebayanya, Darwis tidak pernah merasakan kasih sayang kedua orang tuanya. Ketika usianya baru menginjak satu tahun, ibunya meninggal dunia. Setahun kemudian, ayahnya pun menyusul ke pangkuan Tuhan. Sejak saat itu, Darwis diasuh oleh neneknya yang sudah tua renta. Mereka hidup dalam kondisi serba kekurangan, bergantung pada belas kasihan tetangga dan hasil jualan sapu lidi buatan neneknya.
Dari kecil,
Darwissudah terbiasa bekerja keras untuk
sekadar mendapatkan sesuap nasi. Neneknya, dengan sisa tenaga yang ada,
mengajarkan Darwis cara membuat sapu
lidi dari daun kelapa yang mereka kumpulkan dari hutan di samping rumah mereka.
Terkadang, mereka mendapat cukup uang untuk makan, namun sering kali mereka
harus tidur dengan perut kosong.
Meski hidup
dalam kesulitan, Darwis tumbuh menjadi
anak yang kuat dan tabah. Ia jarang sekali bermain seperti anak-anak lain
seusianya. Ia lebih banyak menghabiskan waktu membantu neneknya, mencari rezeki
untuk mengisi perut mereka yang lapar. Darwis sadar, hidupnya tidaklah semudah
teman-temannya yang masih bisa merasakan kasih sayang orang tua dan bermain
bebas tanpa beban.
Tahun demi
tahun berlalu. Dengan bantuan seorang tetangga jauh yang iba melihat keadaan
mereka, Darwis akhirnya bisa merasakan
pendidikan hingga tingkat SMA. Ia merupakan siswa yang cerdas, namun setelah
lulus SMA, Darwis dihadapkan pada
kenyataan pahit bahwa mencari pekerjaan di negeri ini tidaklah mudah, terutama
jika tidak memiliki "orang dalam" yang bisa memuluskan jalan.
Darwis tidak putus asa. Ia memilih untuk tidak
menyerah pada keadaan. Ia memutuskan untuk bekerja apa saja yang bisa ia
lakukan. Setelah berpikir keras, akhirnya Darwis memilih menjadi seorang pemain pantomim
jalanan. Ia mewarnai seluruh wajahnya dengan bedak putih dan menampilkan aksi
lucu untuk menghibur anak-anak kecil dan orang-orang di desa-desa sekitar.
Setiap hari, mulai pagi hingga sore, Darwis berkeliling dari kampung ke kampung,
menawarkan hiburan sederhana yang mampu menghadirkan senyuman di wajah
orang-orang.
"Kalau
aku bisa membuat satu anak saja tertawa hari ini, itu sudah cukup bagiku,"
pikir Darwissetiap kali ia memulai
harinya.
Hari itu,
matahari bersinar terik di atas desa kecil itu. Seperti biasa, Darwis berdiri di pojok jalan desa,
menampilkan aksi pantomimnya yang lucu. Meski keringat mengucur deras, ia tetap
tersenyum. Setiap lemparan koin atau uang receh yang diterimanya disambut
dengan senyuman tulus dan rasa syukur. Hingga jam menunjukkan pukul 15.20,
seorang pemuda mendekatinya. Usianya sekitar 25 tahun, tujuh tahun lebih tua
dari Darwis
"Mas,
mau beli duren?" tanyanya sambil mengulurkan buah durian besar ke arah Darwis
Darwistersenyum lelah. "Maaf, Mas, saya
nggak ada uang untuk beli duren. Uang saya hanya cukup untuk makan saya dan
nenek saya."
Pemuda itu
tersenyum tipis. "Saya lagi butuh uang, Mas. Anak saya yang pertama lagi
dirawat di rumah sakit umum daerah, kena sakit tifus. Satu buah duren ini, saya
jual 200 ribu."
Darwisterdiam sejenak. Meski hatinya
tersentuh, ia tahu betul bahwa ia tidak punya uang sebanyak itu. Ia hanya punya
uang 50 ribu hasil mengamen seharian. Namun, pendidikan yang diberikan oleh
neneknya untuk selalu berempati dan peduli kepada sesama membuat Darwis merogoh saku celananya. Dengan sedikit
ragu, ia menyerahkan seluruh uang yang ia miliki.
"Ini,
Mas. Saya cuma punya 50 ribu. Ambil saja, semoga bisa sedikit membantu,"
kata Darwis sambil tersenyum tulus.
Pemuda itu
tertegun. "Kamu ikhlas memberikan uangmu ini? Terus, nanti kamu makan apa
kalau semuanya kamu kasih ke saya?"
Darwis mengangguk, "Tidak apa-apa, Mas.
Setelah ini, aku masih bisa mengamen lagi. Semoga Allah memberi jalan rezeki
yang lain."
Mata pemuda
itu berkaca-kaca. Ia menyerahkan durian itu ke Darwis ,
namun Darwis menolak.
"Bawa
saja durennya, Mas. Buat keluarga di rumah," kata Darwis lembut.
Pemuda itu
tersenyum, "Kita tadi akadnya jual beli, jadi duren ini harus kamu terima
sebagai kenang-kenangan dari saya."
Karena
pemuda itu terus mendesak, akhirnya Darwis menerima durian tersebut dengan rasa
haru. Saat membuka durian itu, betapa terkejutnya Darwis menemukan sebuah amplop di dalamnya
berisi uang sebesar 15 juta rupiah.
"Mas...
katanya butuh uang untuk ke rumah sakit?" tanya Darwis kebingungan.
Pemuda itu
tersenyum. "Maafkan saya, Mas. Saya memang sedang melakukan eksperimen
sosial. Saya mencari orang baik yang tulus membantu orang lain meski dalam
kesulitan. Dan saya menemukan itu di diri Mas. Uang ini untuk Mas dan nenek di
rumah."
Darwis terdiam, air matanya jatuh berlinang.
Ia sujud syukur kepada Allah, berterima kasih atas rezeki yang tak disangka-sangka.
Dalam hatinya, ia berjanji akan terus berbagi kepada sesama, seberapa pun sulit
hidupnya.
Harapan Baru di Bawah Langit Kota Angin
Setelah
kejadian luar biasa itu, kehidupan Darwis berubah drastis. Dengan uang 15 juta
rupiah yang diterimanya, Darwis dan
neneknya tak lagi harus khawatir tentang makan sehari-hari untuk sementara
waktu. Mereka bisa membeli kebutuhan dasar, memperbaiki rumah yang hampir
roboh, dan yang paling penting, membiayai pengobatan nenek Darwis yang selama ini terpaksa ditunda karena
masalah biaya.
Namun, uang
itu bukanlah akhir dari perjuangan Darwis ,
melainkan awal dari babak baru dalam hidupnya. Darwis memutuskan untuk menggunakan sebagian
uang tersebut untuk sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.
"Nek,
aku ingin gunakan sebagian uang ini untuk belajar keterampilan lain," kata
Darwis suatu malam ketika mereka sedang
makan malam bersama.
Nenek Darwis menatapnya dengan penuh kasih.
"Keterampilan apa yang ingin kamu pelajari, cucuku?"
"Aku
ingin belajar menjadi seorang pelukis, Nek. Selama ini aku suka menggambar, dan
aku merasa bisa menghibur lebih banyak orang dengan lukisan," jawab Darwis dengan mata berbinar.
Neneknya
tersenyum. Meski usianya sudah senja, semangat Darwis menghidupkan kembali semangatnya yang
pernah padam. "Kalau itu yang kamu inginkan, Nek dukung. Kamu selalu punya
bakat, Darwis Mungkin ini saatnya kamu mengejar
impianmu."
Darwis mulai belajar melukis dari seorang
pelukis tua yang tinggal di desa sebelah. Dengan cepat, dia menguasai
teknik-teknik dasar dan mulai mengembangkan gaya lukisannya sendiri.
Lukisan-lukisannya memancarkan keindahan dan kesederhanaan hidup pedesaan yang
penuh dengan perjuangan dan harapan.
Satu per
satu, orang-orang mulai tertarik dengan karya Darwis Mereka datang ke rumahnya untuk melihat
lukisannya, dan beberapa bahkan mulai membeli. Dari situ, Darwis mulai menghasilkan uang lebih dari yang
dia dapatkan dengan mengamen.
Namun, Darwis tidak pernah melupakan akar
kehidupannya sebagai penghibur jalanan. Setiap akhir pekan, dia tetap
meluangkan waktu untuk menghibur anak-anak dan penduduk desa dengan
pantomimnya, karena dia percaya bahwa seni adalah tentang memberi, bukan hanya
menerima.
Mewujudkan Mimpi
Seiring
berjalannya waktu, nama Darwis mulai
dikenal di luar desanya. Salah satu lukisannya yang berjudul "Pelangi di
Wajah Darwis ," sebuah lukisan dirinya saat menjadi
pantomim dengan wajah berlumur bedak putih, menarik perhatian seorang kolektor
seni dari kota besar. Lukisan itu menggambarkan senyuman yang memancarkan
keikhlasan meski di tengah kemiskinan, sesuatu yang membuat orang-orang yang
melihatnya merasakan hangatnya harapan.
"Berapa
harga lukisan ini?" tanya kolektor seni itu ketika dia datang ke rumah Darwis
Darwis, yang masih merasa rendah hati,
menjawab, "Lukisan ini tidak untuk dijual. Ini adalah pengingat bahwa
hidup saya selalu berjuang dan bahwa kebahagiaan tidak datang dari uang, tetapi
dari hati yang ikhlas."
Kolektor
itu terkesan dengan jawabannya. "Saya mengerti. Namun, saya ingin
mendukung perjalanan seni Anda. Bagaimana kalau saya memesan lukisan lain dari
Anda? Sesuatu yang mencerminkan kehidupan Anda yang penuh perjuangan namun
tetap harapan?"
Darwis tersenyum dan menyetujui permintaan
itu. Ia mulai bekerja penuh keras untuk menyelesaikan lukisan tersebut. Selama
proses melukis, dia merasakan kedamaian yang luar biasa. Lukisan itu menjadi
lebih dari sekadar karya seni; itu adalah cerita hidupnya yang dituangkan dalam
warna dan bentuk.
Ketika
lukisan itu akhirnya selesai, kolektor tersebut datang kembali dan melihat lukisan
yang menggambarkan seorang pemuda berjalan di tengah badai, dengan pelangi
muncul di atasnya. "Luar biasa," kata kolektor itu. "Ini adalah
karya yang indah, penuh makna dan emosi."
Setelah
itu, kehidupan Darwis berubah semakin
baik. Lukisannya menjadi semakin dikenal dan dihargai. Namun, Darwis tetap hidup sederhana. Dia tidak ingin
terjebak dalam kehidupan yang mewah. Dia selalu ingat pesan neneknya untuk
selalu rendah hati dan bersyukur.
Tantangan Hidup anak desa
Namun, hidup tidak selalu berjalan mulus. Ketika Darwis mulai merasakan sedikit kestabilan dalam hidupnya, ujian baru datang. Neneknya jatuh sakit. Sakitnya semakin parah, dan dokter mengatakan bahwa nenek Darwis membutuhkan operasi besar yang biayanya jauh lebih tinggi dari yang mereka miliki.
Darwis merasa dunia seakan runtuh di
sekelilingnya. Ia kembali berjuang untuk mencari cara agar bisa mendapatkan
uang. Semua tabungannya hampir habis untuk perawatan awal neneknya. Dia tahu
dia harus melakukan sesuatu.
Darwis memutuskan untuk menjual salah satu
lukisannya yang paling berharga, "Pelangi di Wajah Darwis "
Dia tahu betapa pentingnya lukisan itu
baginya, tetapi dia juga tahu bahwa kesehatan neneknya jauh lebih penting.
Lukisan itu
terjual dengan harga yang sangat tinggi, cukup untuk membiayai operasi
neneknya. Operasi itu berjalan sukses, dan nenek Darwis perlahan mulai pulih. Meski merasa
kehilangan sesuatu yang berharga, Darwis
tidak pernah menyesali keputusannya.
"Nek,
aku sudah kehilangan satu lukisan yang sangat berharga, tapi aku tidak peduli.
Yang penting adalah nenek sembuh," kata Darwis sambil menggenggam tangan neneknya.
Neneknya
tersenyum lemah. "Kamu benar, Darwis Hidup ini bukan tentang apa yang kita miliki,
tapi tentang siapa yang kita cintai."
Kata-kata
itu terus terngiang di pikiran Darwis Dia menyadari bahwa meskipun hidup penuh
dengan cobaan, selama dia memiliki orang-orang yang dia cintai, dia akan selalu
merasa kaya.
Cahaya di Ujung hutan Tritik
Dengan
neneknya yang semakin pulih, Darwis kembali
melukis. Kali ini, lukisan-lukisannya semakin dalam dan penuh dengan perasaan.
Dia melukis tentang kehilangan, tentang harapan, tentang cinta yang tak pernah
padam meski diterpa badai kehidupan. Lukisan-lukisan itu semakin dihargai di
dunia seni, dan Darwispun semakin
dikenal.
Namun,
lebih dari segalanya, Darwis merasa
bahwa dia menemukan dirinya sendiri melalui seni. Dia merasa bahwa setiap
goresan kuas di atas kanvas adalah bagian dari jiwanya yang bercerita. Dia
mulai mengadakan pameran kecil di kotanya, mengajak anak-anak dan pemuda untuk
belajar seni dan menemukan ekspresi mereka.
Di salah
satu pameran itu, seorang pria tua mendekati Darwis "Saya tahu kamu, Darwis Kamu adalah anak yang dulu suka bermain
pantomim di jalanan," katanya sambil tersenyum.
Darwis tersenyum. "Benar, Pak. Saya masih
suka bermain pantomim sampai sekarang, meski tidak setiap hari."
Pria tua
itu terharu. "Kamu tidak pernah berubah, ya? Selalu sederhana dan rendah
hati."
Darwis tertawa kecil. "Saya hanya
melakukan apa yang saya bisa, Pak. Hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan
tanpa melakukan apa yang kita cintai."
Pria tua
itu mengangguk. "Dan itu yang membuatmu istimewa, Darwis Teruslah berkarya. Dunia membutuhkan orang
seperti kamu."
Pelangi Setelah Hujan
Setahun
berlalu setelah nenek Darwis sembuh dari
operasinya. Hidup Darwis kini jauh lebih
baik dari sebelumnya. Dia berhasil membuka sebuah galeri seni kecil di kota,
tempat dia memamerkan dan menjual lukisan-lukisannya. Galeri itu juga menjadi
tempat bagi anak-anak dan remaja di desanya untuk belajar seni dan menemukan
cara untuk mengekspresikan diri mereka.
Namun,
ujian terakhir datang ketika nenek Darwis jatuh sakit lagi. Kali ini, usianya
yang tua tak mampu lagi menahan penyakitnya. Setelah beberapa bulan berjuang,
nenek Darwis akhirnya menghembuskan
napas terakhirnya di pelukan Darwis Darwis merasa sangat kehilangan, namun dia
tahu bahwa neneknya telah pergi dengan damai.
Setelah
pemakaman neneknya, Darwis kembali ke
galeri. Dia duduk di depan kanvas kosong, mencoba menangkap perasaannya yang
campur aduk. Air matanya menetes, membasahi kanvas. Tapi kemudian, dia mulai
melukis. Tangannya bergerak seolah memiliki pikiran sendiri. Dia melukis
neneknya, dengan senyuman lembut dan mata penuh cinta, seperti yang selalu dia
ingat.
Lukisan itu
menjadi karya terbaiknya. Orang-orang yang melihatnya merasa tergerak, seolah
merasakan kehadiran nenek Darwis melalui
lukisan itu. Lukisan itu menjadi simbol cinta abadi antara Darwis dan neneknya.
Darwis menamai lukisan itu "Pelangi
Setelah Hujan," sebuah penghormatan untuk neneknya yang selalu mengajarkan
bahwa setelah setiap badai, selalu ada pelangi. Hidup Darwis mungkin penuh dengan badai, tetapi dia
selalu menemukan cara untuk melihat pelangi di ujungnya.
Di tengah
kehidupannya yang baru sebagai pelukis terkenal, Darwis tetap menjadi dirinya yang sederhana.
Dia tahu bahwa hidup adalah tentang cinta, perjuangan, dan harapan. Dan dia
tahu bahwa neneknya akan selalu hidup di hatinya, seperti pelangi setelah
hujan.
Darwis tersenyum. Dia menatap lukisan neneknya
dan berbisik, "Terima kasih, Nek, untuk segalanya. Aku akan terus melukis
dan berbagi cinta, seperti yang kau ajarkan padaku."
Kisah Darwis adalah cerita tentang perjuangan,
cinta, dan harapan. Meski hidupnya penuh dengan tantangan, dia selalu menemukan
cara untuk melihat kebaikan dalam segala hal.
TAMAT.
Pak J