Baru-baru ini, publik dikejutkan dengan munculnya pagar laut di wilayah pesisir Tangerang. Keberadaan pagar ini menuai pertanyaan: untuk apa pagar laut itu? Atas izin siapa pembangunannya dilakukan? Apa urgensinya? Dan yang paling menggelitik, mengapa tidak ada pengawasan yang memadai hingga sebuah struktur yang menghalangi akses laut bisa berdiri tanpa sorotan?
Pagar untuk Siapa?
Pagar laut ini, yang kabarnya membentang cukup panjang di perairan Tangerang, menjadi perhatian karena posisinya yang strategis namun justru menghalangi akses nelayan lokal. Laut adalah sumber penghidupan bagi ribuan keluarga nelayan, dan pagar ini tampaknya seperti “batas tak kasat mata” yang membatasi mereka dari mata pencaharian utama. Apakah pagar ini memang sengaja dibangun untuk meminggirkan nelayan kecil? Jika iya, ini jelas bertentangan dengan semangat konstitusi yang menjamin hak rakyat atas akses sumber daya alam.
Pertanyaan krusial berikutnya adalah: Siapa yang mengizinkan pembangunan ini? Apakah ada perizinan resmi dari pemerintah daerah, kementerian terkait, atau institusi hukum yang berwenang? Jika izin memang ada, maka publik berhak mengetahui detail alasan dan tujuan di balik pembangunan pagar tersebut. Jika tidak ada izin, maka ini adalah pelanggaran serius terhadap tata kelola ruang laut yang seharusnya diatur dengan ketat.
Pagar laut, jika ditinjau dari urgensinya, perlu memiliki alasan kuat untuk keberadaannya. Biasanya, pagar seperti ini dibangun untuk alasan keamanan, misalnya menjaga wilayah dari aktivitas ilegal, seperti penyelundupan atau penangkapan ikan secara destruktif. Namun, jika urgensinya hanya untuk kepentingan tertentu, seperti melindungi properti swasta atau proyek komersial, hal ini harus dipertanyakan.
Di sisi lain, wilayah perairan Tangerang dikenal sebagai area tangkapan ikan penting bagi nelayan kecil. Apakah urgensi pagar ini sebanding dengan dampak negatifnya bagi masyarakat pesisir? Apakah nelayan akan diberi alternatif untuk tetap melaut tanpa halangan? Atau justru pagar ini menjadi simbol eksklusivitas, di mana laut seolah-olah dimiliki oleh segelintir pihak?
Apakah ini kelalaian atau ada unsur kesengajaan untuk membiarkan pihak tertentu berbuat semena-mena? Transparansi adalah kunci di sini. Masyarakat berhak tahu siapa yang bertanggung jawab atas proyek ini dan apa konsekuensinya bagi ekosistem laut dan nelayan.
Memagari Nelayan?
Pertanyaan terakhir, apakah pagar ini sengaja dibuat untuk memagari nelayan agar tidak melaut? Jika benar, ini adalah bentuk ketidakadilan struktural yang tidak bisa dibiarkan. Nelayan kecil sudah menghadapi banyak tantangan, seperti cuaca ekstrem, naiknya harga bahan bakar, hingga persaingan dengan kapal besar. Menambah beban mereka dengan membangun pagar yang membatasi akses ke laut adalah keputusan yang tidak berperikemanusiaan.
Laut adalah milik bersama, dan membangun pagar yang membatasi akses tanpa konsultasi publik adalah bentuk monopoli yang melanggar prinsip keadilan sosial. Nelayan adalah garda terdepan dalam menjaga ekosistem laut. Justru mereka yang harus diberdayakan, bukan dipinggirkan.
Pemerintah dan lembaga terkait harus segera bertindak. Pertama, harus ada audit menyeluruh terkait keberadaan pagar laut ini: siapa pembangunnya, untuk apa, dan bagaimana izin diperoleh. Kedua, jika ditemukan pelanggaran hukum, maka pihak yang bertanggung jawab harus diberi sanksi tegas. Ketiga, nelayan lokal harus dilibatkan dalam setiap kebijakan yang memengaruhi akses mereka ke laut.
Pagar laut di Tangerang adalah cermin buruknya tata kelola ruang laut di Indonesia. Jika dibiarkan, kasus ini bisa menjadi preseden bagi eksploitasi wilayah pesisir di tempat lain. Kita tidak boleh tinggal diam. Keadilan bagi nelayan kecil harus diperjuangkan, dan laut harus tetap menjadi milik bersama, bukan segelintir pihak.