Senin, 26 Mei 2025

Gedung Juang Nganjuk dan Semangat Tak Pernah Padam Kyai Dermojoyo

 

Oleh: Pak J

Di tengah hiruk-pikuk pembangunan dan lalu lintas modern di jantung Kota Nganjuk, berdirilah sebuah bangunan kokoh nan bersejarah di Jalan Dr. Sutomo — Gedung Juang Nganjuk. Meski tak dibangun pada masa kolonial atau langsung terlibat dalam pertempuran fisik kemerdekaan, Gedung Juang Nganjuk tetap menjadi simbol kuat perjuangan dan keteguhan semangat para pahlawan lokal, termasuk sosok legendaris Kyai Dermojoyo.

Gedung ini mulai dibangun pada tahun 1977 dan diresmikan secara resmi pada 7 Maret 1978 oleh Menteri Dalam Negeri saat itu. Fungsinya sebagai gedung serbaguna dan pertemuan terbesar di Kabupaten Nganjuk menjadikannya ruang kolektif masyarakat dalam mengenang semangat perjuangan dan pengorbanan leluhur bangsa, terutama mereka yang berasal dari Nganjuk.

Bukan Sekadar Bangunan, Tapi Monumen Jiwa Perlawanan

Meskipun Gedung Juang tidak memiliki hubungan historis langsung dengan medan pertempuran fisik, esensinya tidak bisa dipisahkan dari semangat para tokoh lokal yang berani menentang penindasan kolonial. Salah satu figur paling menonjol adalah Kyai Dermojoyo, pemimpin pemberontakan petani Nganjuk tahun 1907.

Mengenal Kyai Dermojoyo: Sang Pengembara Spiritualitas dan Perlawanan

Kyai Dermojoyo, yang memiliki nama kecil Bagus Talban, lahir pada tahun 1833 di Gebog, Distrik Cendono, Afdeeling Kudus, Karesidenan Semarang. Ia adalah putra tunggal dari pasangan petani sederhana, Soetrono (Sali) dan Poepon. Sejak kecil, Talban telah menunjukkan semangat belajar dan mengembara yang luar biasa. Di usia 7 atau 8 tahun, ia mulai menjelajahi berbagai wilayah untuk berguru kepada tokoh-tokoh agama besar seperti Kadji Toean Sanap, Kyai Bardagin, Kyai Doel Wahab, hingga Raden Bagus Suradi, putra Pangeran Katong dari Kadilangu, Demak.

Perjalanan rohaninya berlanjut ke wilayah timur, dari lereng Gunung Lawu hingga Pesantren Kasan Besari di Ponorogo — tempat ia menyerap ilmu keislaman, kebatinan, dan keprigelan rakyat jelata. Ia juga sempat singgah di berbagai kabupaten seperti Pasuruan, Probolinggo, Malang, hingga Sumenep, memperluas jejaring dan pandangan sosialnya.

Pada akhirnya, Kyai Dermojoyo memilih bermukim di Dukuh Bendungan, Desa Kedungrejo, Kecamatan Tanjunganom, Nganjuk. Ia hidup sederhana, bertani, mengobati warga, dan dikenal sebagai sosok spiritualis yang memiliki ilmu kebatinan serta kekebalan yang luar biasa.

 

Benih Pemberontakan: Ketidakadilan Agraria dan Penindasan Petani

Nganjuk pada awal abad ke-20 merupakan daerah agraris yang subur, namun justru menjadi ladang eksploitasi kolonial. Rakyat dipaksa menyerahkan tanahnya untuk ditanami tebu demi kepentingan pabrik gula milik Belanda. Tanah ganjaran (kompensasi) untuk kepala desa pun kerap diambil secara semena-mena, melebihi batas ketetapan pemerintah kolonial.

Puncak kemarahan rakyat terjadi pada 29 Januari 1907, dipimpin langsung oleh Kyai Dermojoyo. Dengan taktik halus namun revolusioner, ia mengadakan ritual selametan di halaman rumahnya. Dalam acara yang menyembelih sapi itu, ia secara terbuka menyatakan dirinya sebagai Sang Ratu Adil, sosok mesianistik yang akan menegakkan keadilan bagi rakyat tertindas. Ia mengangkat anaknya Mardjan serta pengikut-pengikut setianya seperti Soerapati, Kasiban, dan Nitiharso sebagai panglima gerakan.

Laporan Residen Kediri, E. Constant, pada 1 Maret 1907 mencatat peristiwa ini dengan sangat hati-hati, menyoroti keramaian rumah Kyai Dermojoyo dan kegelisahan pemerintah kolonial atas aktivitasnya.

Puncak Perlawanan dan Gugurnya Sang Kyai

Pemberontakan yang dipimpin Kyai Dermojoyo direncanakan menyasar pusat kekuatan ekonomi penjajah, yakni Pabrik Gula Kutjonmanis. Ia bersama para pengikutnya berusaha mengguncang sendi-sendi dominasi ekonomi kolonial Belanda yang sangat menindas petani. Namun, seperti halnya banyak pemberontakan lokal pada masa itu, kekuatan senjata dan strategi militer kolonial masih terlalu unggul.

Belanda segera mengirim kawat telegram ke Surabaya untuk meminta bala bantuan militer. Dalam pertempuran yang tidak seimbang itu, Kyai Dermojoyo gugur sebagai syuhada di tanah kelahirannya sendiri, menjadi simbol keberanian rakyat melawan penindasan.

Warisan Tak Tertulis yang Terpatri di Bumi Nganjuk

Kyai Dermojoyo tidak meninggalkan pesantren, tidak pula menulis kitab, namun namanya tetap abadi di benak rakyat. Ia dikenang bukan karena bangunan megah atau harta benda, melainkan karena semangat perlawanan, keteguhan hati, dan keberpihakan kepada rakyat kecil.

Kini, makamnya di Dusun Bendungan, Desa Kedungrejo, menjadi saksi bisu perjuangan itu. Gedung Juang yang berdiri di pusat kota mungkin tak langsung berkaitan dengan jejak langkahnya, tetapi jiwa dan semangat Kyai Dermojoyo terasa hidup dalam setiap kegiatan yang memperjuangkan keadilan, kebenaran, dan kesejahteraan rakyat.

Penutup: Semangat Juang yang Terus Menyala

Gedung Juang Nganjuk dan kisah Kyai Dermojoyo adalah dua entitas berbeda secara historis, namun menyatu dalam satu napas — napas perjuangan rakyat melawan penindasan. Gedung Juang menjadi tempat mengenang, sementara Kyai Dermojoyo adalah isi dari kenangan itu. Melalui keduanya, kita belajar bahwa sejarah bukan sekadar kisah masa lalu, tapi sumber energi untuk melangkah lebih berani di masa depan.


Tags: #GedungJuangNganjuk #KyaiDermojoyo #SejarahNganjuk #PemberontakanPetani #RatuAdil #PahlawanLokal #PerjuanganMelawanKolonialisme #ArtikelSejarahIndonesia